Sabtu, 25 Februari 2012

KONSEP DASAR DAN TEORI-TEORI PERKEMBANGAN KOGNTIF


 KONSEP DASAR DAN TEORI-TEORI PERKEMBANGAN KOGNTIF
A.   PENDAHULUAN
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi

B.   RUMUSAN MASALAH
Dari kajian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang hendak di bahas dalam maalah ini, yaitu:
1.      Pengertian kognitif
2.      Teori perkembangan kognitif
3.      Proses perkembangan
C.   PEMBAHASAN
Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris, 2006). Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah

PRINSIP DASAR TEORI PIAGET
• Jean Piaget (seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980) dikenal dengan teori perkembangan intelektual yg menyeluruh, yg mencerminkan adanya kekuatan antara fungsi biologi & psikologis.
• Piaget menerangkan inteligensi itu sendiri sebagai adaptasi biologi terhadap lingkungan. contoh: manusia tidak mempunyai mantel berbulu lembut untuk melindunginya dari dingin; manusia tidak mempunyai kecepatan untuk lari dari hewan pemangsa; manusia juga tidak mempunyai keahlian dalam memanjat pohon. Tapi manusia memiliki kepandaian untuk memproduksi pakaian & kendaraan untuk transportasi.

Tiga Aspek Inteligensi
Menurut Piaget, inteligensi dapat dilihat dari 3 perspektif berbeda:
1.      Struktur Disebut juga scheme (skemata/Schemas). Struktur & organisasi terdapat di lingkungan, tapi pikiran manusia lebih dari meniru struktur realita eksternal secara pasif. Interaksi pikiran manusia dengan dunia luar, mencocokkan dunia ke dalam “mental framework”-nya sendiri. Struktur kognitif merupakan mental framework yg dibangun seseorang dengan mengambil informasi dari lingkungan & menginterpretasikannya, mereorganisasikannya serta mentransformasikannya (Flavell, Miller & Miller, 1993).
2 hal penting yg harus diingat tentang membangun struktur kognitif:
1) seseorang terlibat secara aktif dalam membangun proses.
2) lingkungan dimana seseorang berinteraksi penting untuk perkembangan struktural.
Piaget tidak melihat struktur kognitif sebagai mekanisme biologis lahiriah. Dia tidak percaya bahwa anak-anak memasuki dunia dengan “piranti dasar” untuk memahami realita. Anak-anak secara perlahan & bertahap membangun cara pandang mereka sendiri terhadap realita. Pembentukan struktur kognitif mulai pada awal kehidupan segera setelah bayi mulai memiliki pengalaman dengan lingkungan. Tapi bukankah seorang bayi yg baru lahir belum memiliki pengalaman apapun terhadap lingkungan? Piaget percaya bahwa seorang bayi yg tidak berpengalaman penuh memiliki struktur yg sudah terbentuk yg memprogramkan mereka untuk berinteraksi dengan lingkungan, ini yg disebut struktur fisik, seperti sistem syaraf & otak manusia serta organ2 sensorik spesifik. Dan refleks-refleks yg disebut sebagai “automatic behavioral reactions”. Bayi melatih struktur-struktur ini dalam interaksi dengan lingkungan & memulainya dengan segera untuk mengembangkan struktur kognitif.
2. Isi Disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. Merupakan materi kasar, karena Piaget kurang tertarik pada apa yg anak-anak ketahui, tapi lebih tertarik dengan apa yang mendasari proses berpikir. Piaget melihat “isi” kurang penting dibanding dengan struktur & fungsinya, Bila isi adalah “apa” dari inteligensi, sedangkan “bagaimana” & “mengapa” ditentukan oleh kognitif atau intelektual.
3. Fungsi Disebut fungtion, yaitu suatu proses dimana struktur kognitif dibangun. Semua organisme hidup yg berinteraksi dengan lingkungan mempunyai fungsi melalui proses organisasi & adaptasi. Organisasi: cenderung uuntuk mengintegrasi diri & dunia ke dalam suatu bentuk dari bagian-bagian menjadi satu kesatuan yg penuh arti, sebagai suatu cara untuk mengurangi kompleksitas. Adaptasi terhadap lingkungan terjadi dalam 2 cara:
a.       organisme memanipulasi dunia luar dengan cara membuatnya menjadi serupa dengan dirinya. Proses ini disebut dengan asimilasi. Asimilasi mengambil sesuatu dari dunia luar & mencocokkannya ke dalam struktur yg sudah ada. contoh: manusia mengasimilasi makanan dengan membuatnya ke dalam komponen nutrisi, makanan yg mereka makan menjadi bagian dari diri mereka.
b.      organisme memodifikasi dirinya sehingga menjadi lebih menyukai lingkungannya. Proses ini disebut akomodasi. Ketika seseorang mengakomodasi sesuatu, mereka mengubah diri mereka sendiri untuk memenuhi kebutuhan eksternal. contoh: tubuh tidak hanya mengasimilasi makanan tapi juga mengakomodasikannya dengan mensekresi cairan lambung untuk menghancurkannya & kontraksi lambung mencernanya secara involunter.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.

Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.

TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
  1. Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
  2. Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
  3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
  4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
1.      PERIODE SENSORIMOTOR
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
  1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
  2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
  3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
  4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
  5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
  6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
2.      TAHAPAN PRAOPERASIONAL
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
3.      TAHAPAN OPERASIONAL KONKRIT
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
4.      TAHAPAN OPERASIONAL FORMAL
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat puberitas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
INFORMASI UMUM MENGENAI TAHAPAN-TAHAPAN
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
  • Universal (tidak terkait budaya)
  • Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
  • Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
  • Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
  • Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
PROSES PERKEMBANGAN
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.
Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.
Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
ISU DALAM PERKEMBANGAN KOGNITIF[[1]]
Isu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi secara umum.
TAHAPAN PERKEMBANGAN
  1. Perbedaan kualitatif dan kuantitatif
Terdapat kontroversi terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.
2.      Kontinuitas dan diskontinuitas
Kontroversi ini membahas apakah pembagian tahapan perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap tahapannya.
3.      Homogenitas dari fungsi kognisi
Terdapat perbedaan kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu
STABILITAS DAN KELENTURAN DARI KECERDASAN
Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan usia 15 tahun.
SUDUT PANDANG LAIN
Pada saat ini terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan perkembangan kognitif.
  1. Teori perkembangan kognitif neurosains [[2]]
Kemajuan ilmu neurosains dan teknologi memungkinkan mengaitkan antara aktivitas otak dan perilaku. Biologis menjadi dasar dari pendekatan ini untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Pendekatan ini memiliki tujuan untuk dapat mengantarai pertanyaan mengenai umat manusia yaitu
    1. Apakah hubungan antara pemikiran dan tubuh, khususnya antara otak secara fisik dan mental proses
    2. Apakah filogeni atau ontogeni yang menjadi awal mula dari struktur biologis yang teratur
2.      Teori Konstruksi pemikiran-sosial
Selain biologi, konteks sosial juga merupakan salah satu sudut pandang dari perkembangan kognitif. Perspektif ini menyatakan bahwa lingkungan sosial dan budaya akan memberikan pengaruh terbesar terhadap pembentukan kognisi dan pemikiran anak. Teori ini memiliki implikasi langsung pada dunia pendidikan. Teori Vygotsky menyatakan bahwa anak belajar secara aktif lebih baik daripada secara pasif. Tokoh-tokohnya diantaranya Lev Vygotsky, Albert Bandura, Michael Tomasello
3.      Teori Theory of Mind (TOM)
Teori perkembangan kognitif ini percaya bahwa anak memiliki teori maupun skema mengenai dunianya yang menjadi dasar kognisinya. Tokoh dari ToM ini diantaranya adalah Andrew N. Meltzoff
D.   KESIMPULAN
PENGERTIAN KOGNITIF
Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris, 2006). Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah
PRINSIP DASAR TEORI PIAGET
• Jean Piaget (seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980) dikenal dengan teori perkembangan intelektual yg menyeluruh, yg mencerminkan adanya kekuatan antara fungsi biologi & psikologis.
• Piaget menerangkan inteligensi itu sendiri sebagai adaptasi biologi terhadap lingkungan. contoh: manusia tidak mempunyai mantel berbulu lembut untuk melindunginya dari dingin; manusia tidak mempunyai kecepatan untuk lari dari hewan pemangsa; manusia juga tidak mempunyai keahlian dalam memanjat pohon. Tapi manusia memiliki kepandaian untuk memproduksi pakaian & kendaraan untuk transportasi.
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Inteligensi dapat dilihat dari 3 perspektif berbeda:
1.      Struktur
2.      Isi
3.      Fungsi
Skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
1.      Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1.      Sub-tahapan skema refleks
2.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer
3.      Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder
  1. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder
  2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier
  3. Sub-tahapan awal representasi simbolik
2.      Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
3.      Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
1.      Pengurutan
2.      Klasifikasi
3.      Decentering
4.      Reversibility.
5.      Konservasi
6.      Penghilangan sifat Egosentrisme
4.      Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·         Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
·         Universal (tidak terkait budaya)
·         Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
·         Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
·         Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
·         Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
PROSES PERKEMBANGAN
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema.
Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada.
Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada.

E.   PENUTUP
Demikianlah makalah yang kami persembahkan kepada para pembaca. Penulis mengharapkan apresiasi dan tanggapan dari pembaca semua sehingga makalah ini menjadi lebih sempurna. Semoga mendatangkan kemanfaatan bagi kita semua.
REFERENSI
  • Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth
  • Cole, M, et al. (2005). The Development of Children. New York: Worth Publishers.
  • Johnson, M.H. (2005). Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford : Blacwell publishing
  • Piaget, J. (1954). "The construction of reality in the child". New York: Basic Books.
  • Piaget, J. (1977). The Essential Piaget. ed by Howard E. Gruber and J. Jacques Voneche Gruber, New York: Basic Books.
  • Piaget, J. (1983). "Piaget's theory". In P. Mussen (ed). Handbook of Child Psychology. 4th edition. Vol. 1. New York: Wiley.
  • Piaget, J. (1995). Sociological Studies. London: Routledge.
  • Piaget, J. (2000). "Commentary on Vygotsky". New Ideas in Psychology, 18, 241–259.
  • Piaget, J. (2001). Studies in Reflecting Abstraction. Hove, UK: Psychology Press.
  • Seifer, Calvin "Educational Psychology"
Bacaan lebih lanjut
  • Geary, D. C. (2004). Evolution and cognitive development. In R. Burgess & K. MacDonald (Eds.), Evolutionary perspectives on human development (pp. 99-133). Thousand Oaks, CA: Sage Publications. Teks selengkapnya
  • Wagner, K. V. Background and Key Concepts of Piaget's Theory


[1] ^ Bjorklund, D.F. (2000) Children's Thinking: Developmental Function and individual differences. 3rd ed. Bellmont, CA : Wadsworth
[2] ^ Johnson, M.H. (2005) Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford : Blacwell publishing

Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca Al-Qur’an Pada Siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda


Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca Al-Qur’an Pada Siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda

A. Latar Belakang Masalah.
Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mukjizat (bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya dipandang beribadah[1]. Untuk mendapatkan jaminan keselamatan dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat melalui Al-Qur’an, maka setiap umat Islam harus berusaha belajar, mengenal, membaca dan mempelajarinya[2].
 Al-Qur’an diturunkan Allah kepada manusia untuk dibaca dan diamalkan. Ia telah terbukti menjadi pelita agung dalam memimpin manusia mengarungi perjalanan hidupnya. Tanpa membaca manusia tidak akan mengerti akan isinya dan tanpa mengamalkannya manusia tidak akan dapat merasakan kebaikan dan keutamaan petunjuk Allah dalam Al-Qur’an.[3]
Di era globalisasi ini, banyak sekali pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat dikarenakan para generasi kita masih banyak yang belum mampu untuk membaca Al-Qur’an secara baik apalagi memahaminya. Oleh karena itu, sebagai orang tua harus mengusahakan sedini mungkin untuk mendidik dan membiasakan membaca Al-Qur’an.
Dengan membaca Al-Qur’an atau mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan hikmah serta meresapinya isinya niscaya akan mendapat petunjuk dari Allah SWT, serta dapat menenangkan hati. Itulah yang dinamakan Rahmat dari Allah SWT[4]. Al-Qur’an tidak hanya sebagai kitab suci, tetapi ia sekaligus merupakan pedoman hidup, sumber ketenangan jiwa serta dengan membaca Al-Qur’an dan mengetahui isinya dapat diharapkan akan mendapat Rahmat dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 82:
Artinya: Dan kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.(Qs. Al- Isra’: 82)[5].

Dalam kehidupan kaum muslimin tidak akan terlepas dari Al-Qur’an karena Al-Qur’an yang sangat lengkap dan sempurna isinya itu diyakini sebagai petunjuk yang sekaligus menjadi pedoman hidup dalam urusan duniawi dan ukhrawi sehingga tidaklah mengherankan jika kaum muslimin selalu kembali kepada Al-Qur’an setiap menghadapi permasalahan kehidupan. Di samping itu Al-Qur’an juga berfungsi sebagai sumber ajaran Islam, serta sebagai dasar petunjuk di dalam berfikir, berbuat dan beramal sebagai kholifah di muka bumi. Untuk dapat memahami fungsi Al-Qur’an tersebut, maka setiap manusia yang beriman harus berusaha belajar, mengenal, membaca dengan fasih dan benar sesuai dengan aturan membaca (ilmu tajwidnya), makharijul huruf, dan mempelajari baik yang tersurat maupun yang terkandung di dalamnya (tersirat), menghayatinya serta mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.[6] Sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Qomar pada ayat 22 yang berbunyi:
  

Artinya: Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran.(Qs. Al-Qomar).[7]

Ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa wajib hukumnya bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah dan Kitab-kitabnya untuk mempelajari isi kandungan dengan baik dan benar. Namun demikian, dewasa ini banyak sekali di tengah masyarakat generasi muda Islam yang belum mampu atau bahkan ada yang sama sekali tidak dapat membaca Al-Qur’an padahal bacaan Al-Qur’an termasuk juga bacaan dalam sholat. Pemandangan lain yang cukup memprihatinkan adalah akhir-akhir ini dirasakan
kecintaan membaca Al-Qur’an di kalangan umat Islam sendiri agak semakin menurun. Bahkan sudah jarang sekali terdengar orang orang membaca Al-Qur’an di rumah-rumah orang Islam, padahal mereka tahu membaca Al-Qur’an merupakan ibadah yang memperoleh pahala dari Allah SWT. Jika umat Islam sudah merasa tidak penting untuk membaca Al-Qur’an, maka siapakah yang akan mau membaca Al-Qur’an kalau bukan orang Islam itu sendiri.[8]
Dapat diketahui bahwa setiap muslim mempunyai tanggung jawab dan berkewajiban untuk mengajarkan dan mengamalkan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup seluruh umat manusia yang ada di dunia ini. Apalagi dalam menghadapi tantangan zaman di abad modern dengan perkembangan dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat seperti sekarang ini. Masyarakat muslim, secara khusus orang tua, ulama terutama guru di sekolah perlu khawatir dan prihatin terhadap anak-anak sebagai generasi penerus terhadap maju pesatnya IPTEK yang berdampak pada terjadinya pergeseran budaya hingga berpengaruh pada pelaksanaan kegiatan pembelajaran Al-Qur’an, manusia di zaman ini cenderung lebih menekankan ilmu umum yang condong pada kepentingan dunia dan melupakan ilmu keagamaan sebagai tujuan di akhirat kelak. Ketidakpedulian manusia dalam belajar Al-Qur’an akan mengakibatkan terjadinya peningkatan buta huruf Al-Qur’an yang pada akhirnya Al-Qur’an yang merupakan Kalamullah tidak lagi di baca ataupun dipahami apalagi diamalkan.[9]
Membaca Al-Qur’an dengan fasih dan benar, mengerti akan kandungan ayat yang dibacanya apalagi mau mengamalkannya, niscaya akan mendapat suatu kemuliaan dari Allah SWT, bahkan bila perlu dilagukan dengan suara yang merdu, sebab itu termasuk Sunnah Rasul. Sabda Nabi
SAW:

Artinya: Dari Abu Hurairah r. a berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Allah SWT tiada senang mendengar seorang yang sedang melakukan bacaan Al-Qur’an dengan suara yang keras dan merdu (HR Shahih Muslim).[10]
Berdasarkan keterangan hadits tersebut dapat dimengerti bahwa membaca Al-Qur’an dengan suara merdu akan mendapat tambahan pahala dari Allah. Suara merdu tidak hanya dipakai untuk menyanyikan lagu saja, melainkan sebaiknya digunakan untuk membaca Al-Qur’an dan juga mengetahui isi kandungannya. Nilai-nilai agama telah mulai luntur dan ditinggalkan sama sekali. Budaya membaca Al-Qur’an di rumah-rumah setelah sholat fardhu sudah jarang didengarkan. Membaca Al-Qur’an telah digantikan dengan bacaan-bacaan atau media-media informasi lain seperti: koran atau surat kabar, majalah, televisi dll. Lebih parah lagi menurunnya kemampuan orang-orang muslim dalam membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Dalam proses pendidikan upaya atau usaha guru sangatlah penting demi kelangsungan proses belajar mengajar yang baik. Dalam pengertian upaya atau usaha mempunyai arti yang sama yaitu ikhtiar untuk mencapai sesuatu yang hendak di capai. Sedangkan pengertian guru itu sendiri adalah pendidik profesional, karena ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggungjawab pendidikan yang sebenarnya menjadi tanggungjawab orang tua.[11] Pada saat ini tidaklah asing lagi apabila mendengar para pendidik yangmenyatakan keluhan-keluhan tentang pengajaran materi PAI dalam hal membaca Al-Qur’an khususnya di sekolah. Salah satu sekolah tersebut adalah Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis, hal itu disebabkan banyak faktor yaitu:
1.      Dari segi pemahaman materi berbeda antara siswa yang satu dan lainnya.[12]
2.      Tidak semua siswa lancar dalam membaca dan menulis ayat-ayat Al- Qur’an.[13]
3.      Siswa menganggap mata pelajaran PAI adalah momok yang paling menyulitkan untuk dipelajari atau untuk menerimanya. Dan tidak semua siswa menyukai mata pelajaran PAI khususnya membaca Al-Qur’an serta kurang sebuah motivasi belajar siswa.[14]
Juga dalam hal ini adanya sebuah pendorong agar terlaksananya tujuan tersebut yaitu dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap disamping itu juga kita memerlukan tenaga pengajar yang profesional di bidangnya. Persoalan yang sekarang terjadi adalah di Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis, di sekolah tersebut merupakan sebuah lembaga ynag menargetkan pada tiap siswanya untuk bisa membaca Al-Qur’an dan menjadi mata pelajaran yang wajib ditempuh oleh siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis. Dalam perjalanannya ternyata pembelajaran membaca Al-Qur’an menghadapi permasalahan yang tidak sedikit. Di antara permasalahan yang dihadapi adalah input siswa beragam (ada yang non muslim), jumlah jam pelajaran (alokasi waktu), guru, dan metode pembelajaran membaca Al-Qur’an yang terbatas.
Mengenai input siswa yang beragam tersebut, bahwasanya ada siswa yang sudah lancar dalam membaca Al-Qur’an, ada yang belum lancar, dan ada yang buta terhadap huruf Al-Qur’an. Heterogenitas siswa ini menjadi masalah ketika mereka berkumpul dalam satu kelas.[15] Masalah lain yang dihadapi guru PAI adalah bagaimana menentukan metode dan pendekatan yang tepat sehingga para siswa mampu meraih target yang dicanangkan pihak kurikulum. Padahal Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum dilihat dari segi alokasi jam pelajaran setiap mingggunya hanya mendapatkan porsi 2 jam pelajaran. Alokasi waktu.. [16]
Sebagaimana dalam skripsi yang ditulis oleh Firmandi tahun 2007 dengan judul Metode kontemporer dalam pembelajaran Al-Qur’an menyatakan bahwa Kemampuan dan keterampilan membaca Al-Qur’an para siswa sekolah tingkat menengah lanjutan, diperoleh tidak semata-mata didasarkan atas proses hasil belajar di sekolah formal, melainkan ada sejumlah media lain yang turut membantu kemampuan dan keterampilan tersebut. Faktor lingkungan keluarga sendiri amat membantu hal ini. Siswa yang memiliki kemampuan dan keterampilan membaca Al-Qur’an dengan baik ternyata mereka telah mulai belajar membaca Al-Qur’an pada Sekolah Dasar, bahkan pada usia Taman Kanak-kanak. Dalam konteks ini orang tua anak amat berperan karena mereka telah sejak dini mengarahkan putra puterinya untuk belajar mengenal huruf dan mengajarinya membaca Al-Qur’an.[17]
Diantara hal yang kurang memuaskan adalah masih banyak ditemuikesalahan siswa dalam membaca Al-Qur’an, misalnya ada beberapa siswa yang masih kurang lancar tajwidnya seperti terbata-bata dalam membaca ayat Al-Qur’an, belum mampu mempraktikkan bacaan mad dengan benar yaituterkadang bacaan mad tidak dibaca panjang dan yang seharusnya pendek malah dibaca panjang. Siswa juga masih banyak melakukan kesalahan dalam membaca hukum bacaan yang dibaca dengung dan yang tidak dibaca dengung. Dalam membaca makharijul hurufnya siswa masih belum bisa membedakan antara , ث- س dan د- ذ , disamping itu juga mereka masih belum bisamelagukan dan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan benar dan menarik.Hal inilah yang mendorong penulis untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca Al-Qur’an Pada Siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis.”

B. Rumusan Masalah.
Dari rangkaian latar belakang tersebut, Peneliti menarik beberapa masalah yaitu:
1.      Bagaimana upaya guru PAI dalam mengatasi kesulitan belajar membaca Al-Qur’an pada siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis?
2.      Apa saja faktor pendukung dan penghambat upaya guru PAI dalam mengatasi kesulitan belajar membaca Al-Qur’an pada siswa di Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan penelitian di atas, penelitian ini mempunyai tujuan:
1.      Untuk mengetahui upaya guru PAI dalam mengatasi kesulitan belajar membaca Al-Qur’an pada siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis.
2.      Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat upaya guru PAI dalam mengatasi kesulitan belajar membaca Al-Qur’an pada siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1.      Bagi Peneliti Sebagai acuan untuk memperluas pemikiran dan pengalaman penulis dalam bidang pendidikan di masa depannya khususnya Menambah wawasan keilmuan pendidikan Al-Qur’an.
2.      Bagi Lembaga yang diteliti Dapat memberi masukan bagi penyelenggara lembaga pendidikan/sekolah, guru-guru PAI pada Madin dan pembuat kebijakan dalam penyusunan kurikulum PAI dan pelaksanaan kegiatan Al-Qur’an.
3.      Bagi Masyarakat Peneliti berharap agar hasil penelitian ini digunakan sebagai khasanah ilmu pengetahuan untuk bahan penelitian lebih lanjut, khususnya spesifikasi ke Al-Qur’annya dan tentunya akan memberikan inspirasi dan alternatif untuk mencari cara terbaik dalam proses pembelajaran Al-Qur’an.

E. Ruang Lingkup Penelitian
Sebagaimana deskripsi yang telah diuraikan pada bagian latar belakang maka peneliti menilai bahwa kegiatan penelitian ini berkenaandengan upaya guru PAI dalam mengatasi kesulitan belajar membaca Al- Qur’an pada siswa kelas Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis serta faktor yang mendukung dan penghambat upaya guru PAI dalam mengatasi kesulitan belajar membacaAl-Qur’an pada siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis.



F.     PENUTUP
Dengan penuh rasa syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT atas taufik dan hidayah Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul  “Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca Al-Qur’an Pada Siswa Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis.”
Penulis menyadari atas segala kekurangan dan kelemahan yang ada dalam proposal ini. Hal ini semata-mata karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu saran, kritik, dan koreksi dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga proposal ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…




[1]  Masfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (Surabaya: Karya Abditama, 1997), hl;m. 1
[2] Ibid., hlm. 2
[3] Muhammad Thalib, Fungsi dan Fadhillah Membaca Al-Qur’an (Surakarta: Kaffah Media, 2005), hlm. 11
[4]  Ibid., hlm. 12
[5] Al -Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 290
[6] Abu Yahya As- Syilasyabi, Cara Mudah Membaca Al-Qur’an Sesuai Kaidah Tajwid (Yogyakarta: Daar Ibn Hazm, 2007),  hlm 12
[7] Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 529.
[8] Abu Yahya As- Syilasyabi, op, cit., hlm. 13
[9]  Muhammad Thalib, op. cit., , hlm. 14
[10] Muslim, Abu Husain Ibnu, Al-Qur’an Hajjaj Ibnu Muslim Al-Qur’an Qusyairi, Jilid I, Shahih Muslim hlm. 987
[11] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 39
[12] Wawancara dengan ibu Mukarromah, Guru PAI Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis, tanggal 18 Juli 2011
[13] Wawancara dengan ibu Mukarromah, Guru PAI Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis, tanggal 18 Juli 2010
[14]  Wawancara dengan bapak Junaidi, Guru PAI Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis, tanggal 18 Juli 2010
[15]  Wawancara dengan bapak Sulthoni, kepala sekolah Guru PAI Madrasah Diniyah Matholi’ul Huda Pringtulis, tanggal 18 Juli 2010
[16]  Harun Maidir, dkk. Kemampuan Baca Tulis Al-Qur’an Siswa SMA (Jakarta: DEPAG badan Litbang dan Puslitbang, 2007), hlm. 10
[17]  Firmandi 2007 Implementasi Metode Kontemporer dalam Pembelajaran Al- Qur’an. Skripsi PAI Fakultas Tarbiyah UIN Malang.