Rabu, 01 Agustus 2012

MATERI WUDHU


WUDHU
menurut bahasa artinya bersih atau indah, sedangkan menurut syara adalah membersihkan anggota wudhu untuk menghilangkan hadas kecil.
Rukun-rukun Wudhu
1.      Niat
2.      membasuh muka
3.      membasuh kedua tangan hingga siku
4.      mengusap sebagian rambut kepala
5.      membasuh kedua kaki hingga mata kaki
6.      tertib artinya teratur tidak bolak balik.
Sunah-sunah wudhu
1.      dimulai dengan membaca BASMALAH ( bismillahir rahmaanir rahiim )
2.      membasuh kedua tangan sampai pergelangan tangan.
3.      berkumur – kumur membersihkan gigi
4.      membersihkan lubang hidung.
5.       membasuh seluruh rambut kepala dengan air
6.       membasuh kedua telinga, bagian luar dan dalam.
7.       membersihkan sela jari tangan dan kaki
8.       membaca doa sesudah wudhu.
9.       selalu mendahulukan yang kanan dan mengahirkan dengan yang kiri
10. semuanya di lakukan tiga kali
Batalnya wudhu.
1.      keluarnya benda dari qubul atau kemaluan dan dubur atau anus misalnya kentut, buang air besar ( pup )
2.      hilang akal ( gila ), mabuk, pingsan, dsb.
3.      menyentuh kemaluan qubul ataupun dubur anus dengan tangan kanan atau jari – jari tangan dengan tanpa penutup, baik terhadap kemaluan miliknya atau anaknya sendiri.
4.      bersentuhan kulit antara lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya.
5.      tidur.
Tata cara berwudhu
Niat Wudhu:

Nawaitul Wudhuu-a li raf’il hadatsil ashghari fardhal lillahi ta’aala.
Artinya : aku berniat wudhu untuk menghilangkan hadas kecil. Fardhu karena Allah ta’aala.

1.      mencuci kedua tangan sampai pergelangan tangan hingga bersih.
2.      berkumur sambil membersihkan gigi
3.      membersihkan lubang hidung tiga kali
4.      membasuk muka tiga kali, mulai dari tumbuhnya rambut kepala sampai bawah dagu dan dari telinga kanan hingga telinga kiri
5.      setelah itu membasuh kedua tangan hingga siku sebanyak tiga kali.
6.      membasuh rambut kepala sebanyak tiga kali
7.      membasuh kedua telinga sebanyak tiga kali
8.      membasuh kedua kaki sebanyak tiga kali
9.      tertib artinya tidak bolak – balik.
Berdoa sesudah wudhu.
Asyhadu al laa ilaaha illallahu wahdahu la syariika lah, wa asyhadu anna muhamadan abduhu wa rasuuluh. Allaahummaj’alnii minattawabiina waj’alni minal mutatahhirin, waj’alni min ibaadikash shaalihiin, subhaanakallaahumma wa bi hamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik.
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan ( yang berhak di sembah ) kecuali Allah yang maha esa, tiada sekutu bagiNya dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah hamba dan rasul Nya. Ya Allah jadikanlah aku termasuk golongan orang – orang mensucikan diri, dan jadikanlah aku termasuk orang – orang yang saleh. Maha suci engkau ya Allah dan dengan memujimu, aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan ( yang berhak di sembah ) kecuali engkau. Aku mohon ampun kepadaMu dan aku bertoba kepadamu.

PENYAKIT SOMBONG

Sombong adalah salah satu sifat manusia yang berada dalam hati. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Alloh SWT dan orang itu sendiri. Akan tetapi, kesombongan ini akan dapat dilihat oleh orang lain ketika tercermin dalam sebuah perbuatan ataupun amalan. Perlu anda ketahui bahwa sifat sombong adalah sebuah penyakit yang cepat sekali menyebar, dan kewajiban seorang muslim adalah menghindarinya dan membuat benteng yang kokoh untuk bertahan hembusan angin beracun ini.

Apakah hakikat kesombongan itu? Apa pengaruhnya terhadap agama dan akhlak si empunya sifat tersebut? Lalu, kapan seseorang disebut sombong? Dan kapankah seseorang yang sombong itu mencapai derajat kafir? Apa mungkin rasa sombong itu menghinggapi para pencari ilmu dan da’i?

Dari pertanyaan-pertanyaan itulah penulis tergerak untuk memaparkan penjelasan seputar sifat sombong.

Kesombongan adalah sebuah perbuatan hati atau lisan atau anggota badan manusia yang mencerminkan penolakan terhadap kebenaran (al haq), dan juga mencerminkan penghinaan kepada makhluk lain, baik manusia, hewan, tumbuhan dan lain-lain. Pengertian tersebut diambil berdasarkan hadist Rosululloh SAW:

عن ابن مسعود قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ((لا يدخل الجنةَ من في قلبه مثقالُ ذرةٍ من كِبر))ٍ . فقال رجل: ((إن الرجل يُحبُّ أن يكون ثوبه حسناً ونعله حسنةً ؟)) فقال: ((إن الله جميلٌ يُحبُّ الجمال الكبر بطَرُ الحق وغمطُ الناس)) " مسلم.

Dari Ibnu Mas’ud ia berkata, “Rosululloh SAW pernah bersabda, "Tidaklah akan masuk surga orang yang didalam hatinya ada sebesar biji sawi dari sifat sombong." Tiba-tiba ada orang yang berkata kepada Rosululloh, “Sesungguhnya semua orang itu menginginkan baju dan sandal yang dipakainya indah/bagus?” Maka Rosululloh SAW menjawabnya, “Sesungguhnya Alloh SWT adalah indah dan menyukai keindahan, sedangkan kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

Syeikh ‘Abdurrohman As Sa’diy menjelaskan makna sombong di dalam tafsirnya, rasa sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan makhluk/orang lain. Sedangkan sebaliknya adalah rasa tawadhu’ yang berarti menerima kebenaran dari siapapun yang menyampaikannya, dan tidak menghina atau merendahkan orang lain. Akan tetapi ia selalu melihat kelebihannya dan menyukai kelebihan tersebut sebagaimana ia menyukai kelebihan yang ada dalam dirinya sendiri.

Sifat sombong terbagi menjadi dua, yang pertama adalah sombong yang menyebabkan sang pemiliknya menjadi kafir. Dan yang kedua adalah sombong yang tidak menyebabkan kekafiran, akan tetapi pemiliknya mendapatkan dosa besar.

Rasa sombong yang dapat menyebabkan kekafiran adalah kesombongan yang menjadikan seseorang menolak dan menentang kebenaran yang datangnya dari Alloh SWT dan Rosul-Nya, serta dapat membawanya kepada perbuatan yang merendahkan seorang muslim karena keislaman dan keimanannya.

Barangsiapa yang terjerumus kedalam sifat ini, maka sungguh ia telah kafir dan keluar dari Islam, sebagaimana tertera di dalam AL Qur'an,

) بلى قد جاءتك آياتي فكذبت بها واستكبرت وكنت من الكافرين (

“(Bukan demikian) Sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir." (Az Zumar: 59)

Orang yang menyombongkan diri terhadap agama Alloh SWT dan meremehkan orang lain karena keimanannya, secara zhohir ia telah menyerupai perbuatan Iblis dan juga Fir’aun. Keduanya telah disebut kafir oleh Alloh SWT karena kesombongannya lantaran penolakan mereka terhadap kebenaran yang datangnya dari Alloh SWT dan juga peremehan terhadap orang lain.

) و إذ قلنا للملائكة اسجدوا لأدم فسجدوا إلا إبليس أبى واستكبر وكان من الكافرين (

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al Baqoroh: 34)

) واستكبر هو وجنوده في الأرض بغير الحق و ظنوا أنهم إلينا لا يرجعون (

“Dan berlaku angkuhlah Fir'aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (Al Qoshos: 39)

Sifat Fir’aun dan bala tentaranya yang meremehkan orang lain, telah termaktub di dalam firman-Nya,

( فاستخف قومه فأطاعوه إنهم كانوا قوما فاسقين )

ِ“Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.” (Az Zukhruf: 54)

Sifat sombong yang kedua adalah sifat yang membuat seseorang berdosa besar, akan tetapi tidak sampai kepada derajat kekafiran. Sifat ini membawa pemiliknya kepada penolakan terhadap kebenaran urusan duniawi yang tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syar’i baik halal atau haram. Seperti perbuatan seseorang yang meremehkan atau menghina orang lain karena merasa mempunyai kelebihan dari orang lain.

Perbuatan semacam itu adalah perbuatan sombong, yang sangat membahayakan agama dan akhlak pelakunya, dan juga dapat mengantarkan pelakunya kepada dosa besar.

Contoh lain dari sifat sombong ini adalah menolak nasehat dan kebenaran dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari kita. Seperti orang kaya yang menolak kebenaran yang muncul dari orang miskin, seorang guru yang menolak kebenaran yang muncul dari seorang murid, dan lain sebagainya.

Setiap kejelekan pastilah akan berpengaruh kepada pemiliknya bahkan juga kepada orang lain, karena sesungguhnya kejelekan itu menular.

Sudah barang tentu sifat sombong yang pertama ataupun yang kedua adalah perbuatan jelek, walaupun sifat tersebut merupakan perbuatan hati. Namun, kedua sifat tersebut mempunyai pengaruh dan akibat terhadap kejiwaan dan fisik si empunya.

Akibat pertama, orang yang sombong akan terjerumus kepada kehidupan yang sempit karena kesombongannya, biarpun seakan ia merasa berkuasa atau lebih hebat dari orang lain, sebagaimana Alloh SWT berfirman,

ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا و نحشره يوم القيامة أعمى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."(Thoha: 124)

Kata berpaling pada ayat diatas merupakan perbuatan sombong yang artinya berpaling dari ilmu dan agama Alloh SWT.

Akibat kedua, orang-orang yang berbuat sombong akan menjadi buta terhadap ayat-ayat Alloh SWT dan petunjuk-Nya, bahkan mereka menjadi orang yang tidak bisa memanfaatkan ilmu, meskipun pada dasarnya mereka adalah intelek dan cendikiawan. Sebagaimana ayat Alloh SWT,

سأصرف عن آياتي الذين يتكبرون في الأرض بغير الحق وإن يروا كلَّ آيةٍ لا يؤمنوا بها وإن يروا سبيل الرشد لا يتخذوه سبيلاً وإن يروا سبيل الغي يتخذوه سبيلاً

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), maka mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, maka mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.” (Al A’rof: 146)

Akibat ketiga, orang yang bersifat sombong pasti masuk ke neraka jahannam. Firman-Nya pula,

فادخلوا أبواب جهنم خالدين فيها فلبئس مثوى المتكبرين

“Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu.” (An-Nahl: 29)

إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Ghofir/Al Mukmin: 60)

Orang-orang yang sombong dengan hartanya terhadap orang lain dipastikan oleh Rosululloh SAW sebagai penghuni neraka pada hari kiyamat, hal itu disebabkan ia menolak kebenaran yang datangnya dari orang lain, karena ia merasa lebih mempunyai harta, lebih kaya, dan bahkan lebih mulia darinya.

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :" إنه ليأتي الرجلُ السمينُ العظيم يوم القيامة لا يزن عند الله جناح بعوضة " متفق عليه.

Rosululloh SAW bersabda, “Sungguh akan datang pada hari kiyamat orang yang gemuk dan mulia (karena kedudukan dan hartanya) yang ia tidak mempunyai timbangan (kebaikan) sedikitpun disisi Alloh biarpun hanya seberat sayap satu ekor nyamuk.” (Muttafaq ‘Alaihi)

Imam Nawawi menjelaskan hadist tersebut, bahwa masuknya orang itu ke dalam neraka disebabkan kesombongannya kepada orang lain.

Ayat-ayat dan hadist diatas adalah dalil umum yang menghukumi setiap perbuatan sombong. Ulama kontemporer seperti Abu Basheer atau yang dikenal dengan Abdul Mun’im Musthofa Halimah telah menjelaskan pembagian orang-orang sombong di dalam kitabnya.

Adapun macam-macamnya adalah :

1. Kesombongan orang-orang yang duduk di pemerintahan thoghut. Mereka sesungguhnya telah menolak kebenaran syariat Islam yang seharusnya menjadi hukum di dalam sebuah negara. Kesombongan mereka jelas terlihat ketika mereka menolak akan dakwah syariat yang telah disampaikan kepada mereka.

2. Kesombongan para tentara thoghut, sebagaimana para tentara Fir’aun yang selalu menyatakan siap berperang demi sang raja. Aparat Fir’aun pada masa itu telah terulang kembali pada hari ini. Dimana seluruh tentara di dunia bersepakat untuk membunuh, menangkap, bahkan menyiksa para da’i dan mujahidin yang bergerak demi tegaknya kalimatul haq di muka bumi ini.

3. Kesombongan orang-orang miskin. Sesuatu yang sangat naif apabila sifat sombong telah merasuki orang miskin, karena pada dasarnya orang miskin itu bersahaja dikarenakan kebutuhannya yang tidak banyak terpenuhi. Maka seandainya si miskin berani sombong, lalu bagaimana sifatnya apabila Alloh berikan kekayaan kepadanya? Hal ini sebenarnya telah diwanti-wanti oleh Rosululloh dengan sabdanya yang berbunyi,

) ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا يُزكيهم، ولا ينظر إليهم ولهم عذاب أليم: شيخٌ زانٍ، وملكٌ كذاب، وعائلٌ مستكبر (مسلم.

“Ada tiga orang yang Alloh SWT tidak akan berbicara kepada mereka pada hari qiyamat, Allah tidak akan mensucikan/membersihkan mereka, dan Allah tidak akan melihat mereka, serta mereka akan mendapat adzab yang sangat pedih, mereka adalah orang tua yang pezina, pemimpin yang pembohong, dan orang miskin yang sombong” (H.R. Muslim)

4. Kesombongan para pencari ilmu dan para da’i. Hal ini adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Bisa jadi, seseorang akan merasa lebih pandai dari orang lain sehingga dialah yang seharusnya berhak berbicara. Sebagaimana da’i senior lebih merasa berhak berbicara dari juniornya, sampai-sampai ada anekdot yang sangat menusuk hati para da’i “Kalau belum tua belum boleh bicara” na’udzubillah mindzalik apabila hal itu merasuki kita semua. Dan masih banyak contoh-contoh kesombongan yang dapat dilihat oleh kasat mata, yang sebenarnya siapapun bisa menghindarinya.

Referensi :

    Al Qur'an dan terjemahnya
    Fath Al Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani
    Syarh Shohih Muslim, Imam Nawawi
    At Thoghut, 'Abdul Mun'im Musthofa Halimah
    Tafsir As Sa'di
    Al Fawaid, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah
    Maktabah Syamela, volume 2

Jumat, 27 Juli 2012

Beralihlah, Dari Ego Menuju Geo


Seorang bijak berkata bahwa dewasa itu adalah sikap. Sama sekali tidak terpaut dengan usia. Boleh jadi mereka yang usianya sudah tua namun belum dewasa, atau sebaliknya, seseorang yang relatif masih muda usianya tapi begitu dewasa sikapnya.
Sebenarnya dewasa itu seperti apa? Pasti akan kita temukan banyak jawaban untuk pertanyaan tersebut. Diantara jawaban yang saya temukan, kalimat berikut ini adalah favorit saya: ‘Orang yang semakin dewasa mulai mengalihkan perhatiannya dari dirinya sendiri ke orang lain!’ Ada perubahan sikap yang mulai terlihat bagi yang dewasa, terkait perhatian dan kepentingan.
Semakin dewasa, semakin tidak memikirkan diri sendiri. Perhatiannya sudah tidak mementingkan diri sendiri lagi (ego), tapi bergeser terhadap memikirkan, mengusahakan, dan melayani kepentingan orang lain atau alam sekitarnya (geo). Sikap seperti ini jugalah yang disamakan dengan sikap kepahlawanan. Kepahlawanan itu tidak hanya memikirkan kepentingan orang lain, namun juga rela mengorbankan resources-nya untuk kepentingan orang lain yang lebih banyak.
Bagi yang memiliki sikap kepahlawanan ini sudah pasti kedewasaan menjadi identitas mereka. Identitas yang tidak perlu menuntut klaim. Karena klaim yang dilakukan oleh seseorang atas sikap atau hal kepahlawanan yang pernah dilakukannya hanyalah menunjukkan kekerdilan jiwanya.Sementara jiwa yang kerdil tak akan beroleh kebahagiaan. Berbeda dengan jiwa besar, jiwa dewasa, jiwa pahlawan, yang pasti akan berujung pada kebahagiaan. Kebahagian dalam melayani, membantu, dan berbagi.
Berbagi bisa dengan cara apa saja. Bagi yang mampu secara ekonomi, dapat berbagi dengan hartanya. Bagi yang mampu secara ilmu, dapat berbagi dengan ilmu pengetahuanya. Bagi yang mampu secara tenaga, dapat berbagi dengan tenaganya. Demikian juga bagi yang memiliki kemampuan-kemampuan lainya.
Kemampuan yang dimiliki oleh orang dewasa ini, mereka anggap adalah benar-benar ‘titipan’ Tuhan Yang Maha Pemberi. Dengan demikian, kewajiban untuk membagikannya adalah perintah yang tidak dapat dikompromikan. Apalagi dalam ajaran agama yang kita yakini, bahwa memberi adalah cara terbaik untuk dapat menerima. Semakin banyak memberi semakin banyak menerima, demikianlah sinyalemen dari the power of giving.
Karena orang dewasa sudah siap mengalihkan kepentingan dirinya (ego) menuju kepentingan orang lain atau  lingkungan dan alam sekitarnya (geo), maka the secret of giving itu sudah terbuka selebar-lebarnya bagi mereka. Semakin mereka melayani geo, semakin pula geo melayani ego. Sehingga janji Allah atas ganjaran bagi yang banyak bersedekah atau berinfak dalam surat al-Baqarah: 261 yang artinya sebagai berikut ini adalah sebuah kebenaran yang nyata.
“Perumpaan orang yang menginfaqkan hartanya pada jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki, Allah maha luas , lagi maha mengetahui.” (QS. SURAH-AL-BAQARAH: 261).
Mudah-mudahan kita semua dapat menarik manfaat dari tulisan singkat ini, terutama bagi penulis sendiri. Amiin
islami

Rabu, 25 Juli 2012

AKU MENCINTAIMU, TAPI KAMU MENYAKITIKU SAYANG

Aku Mencintaimu, Tapi Kamu Menyakitiku Sayang

Aku memulai rutinitasku. Menanti hari dari senin dan berharap jumat. Menghitung 120 jam yang harus aku lalui. Menunggui detik beranjak dari titik nolnya hingga ke detakke 7200nya. Duniaku berotasi pada poros rutinitasnya.pada poros yang telah kutandatangani 6 bulan silam.

Aku tak pernah sanggup meninggalkanmu. Tapi kau sapa aku dengan lembut dan kau katakan padaku “Kita perlu belajar menggapai hari. Dan sesekali kamu perlu merasakan moment meninggalkanku”.

Aku pergi. Berjarak 420 km dari titik berpijakmu. Aku masih terus berotasi dan kutemukan bahwa kaulah poros itu. Rutinitasku penuh oleh bayangmu. Bayangbayang yang selalu menemani tiap kerjaku.

Menjadi penyemangat kala ada salah dan marah menyelusup dalam rutinitasku. Menemaniku 120 jamku hingga datang jumat sore. Hari di mana aku dengan bebas menghubungimu meski raga kita taksempat bersentuh. Menunggui suaramu di ujung telepon meski hanya suara.

Lintang dan bujur kita tak berubah jauh.meski rotasiku masih berporos padamu, ketemukan ada planet lain yang mengorbit dan berotasi mengelilingimu. Ada seseorang yang telah menanam senyum yang telah mengusik ruang imajimu. Yang rela kau tukar dengan ribuan anak panah untuk membidikmu daripada menahan pesona senyum itu.

Aku ingin memelukmu saat ini. Dan kubisikkan kalimat cinta ditelingamu “aku mencintaimu, tapi kamu menyakitiku sayang........”.

JANGAN INGKARI JANJI


Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:


وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً

Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)

Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Menepati Janji

Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى

Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)

Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:

 إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ

Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)

Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.

Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Makkah.

Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul Ma’ad, 3/262)

Para Salaf dalam Menepati Janji

Dahulu ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Anas bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak ikut perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berjanji jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]

Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً – وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا

Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa) –dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”

‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada kalimat yang terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.

Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka takut kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.

Iblis Menebar Janji Manis

Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.

Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: Wahai Suraqah, bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)

Tanda-tanda Kemunafikan

Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek serta rusaknya hati.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)

Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir

Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِلاَّ الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ

Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)

Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma ada ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)

Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)

Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ

Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)

Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا

Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)

Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)

Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)

Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil

Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang tercela.

Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ

Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)

Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ

Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)

Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat

Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)

Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)

Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa

Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُوْنَ

Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Khatimah

Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.

Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung dengan kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal demi tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu a’lam.